Selasa, 21 Desember 2010

Akankah Pemekaran Daerah melahirkan “Strong Governace” Yang Diikuti Dengan Prakarsa Otonomi Pemerintahan Desa”[1]



Abstract :
To promote the strengthening of position, existeynce, capacity and village autonomy in the context of state formation and government in Indonesia. The initiative, of course, is a not a serial success stories, best practise, and permanent policies design, but as a pioneering having ideas, perspective, and useful lesson-learn for encouraging a scientific-discourse-tranformation, policy reform and local movements.

Kata kunci: Pemekaran daerah, Otonomi Desa.

Pertanyaan akan ini sering mengemuka akhir-akhir ini : Mungkinkah pemekaran daerah melahirkan  Strong government akan diikuti dengan prakarsa otonomi pemerintahan desa ?
Untuk menjawab pertanyaan akhir-akhir ini perlu adanya akselelator penguatan peran, eksistensi, kemadirian pemerintahan desa dalam konteks  “ Strong government” pemerintahan daerah di era otonomi .
Ada sejumlah agenda yang belum tuntas dalam mendorong prakarsa otonomi pemerintahan desa. Pertama, secara historis, desa adalah sebagai satu kesatuan masyarakat hokum (self governing community) yang memiliki sistem pemerintahan lokal yang unik dan berbeda satu dengan lainnya dengan balutan tradisional dan pemerintahan desa (village governance) seantiasa terlihat kemandirian, keseimbangan hubungan social baik dengan sesamamanusia maupu dengan alam sekitarnya. Kedua, Secara statistik sebagian besar penduduk kita berada di desa,  maknanya,  bahwa masyarakat Indonesia berada pada tatanan grass roots.
Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah memperbaiki pelayanan pemerintah kepada masyarakat agar pelayanan tersebut dapat dilaksanakan  secara lebih efektif dan efisien. Dengan otonomi daerah tersebut berarti pemerintah pusat telah memindahkan sebagian besar kewenangannya kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom semakin kuat (strong governance) dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat di daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dan diharapkan bahwa pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Oleh karena itu semangat otonomi daerah melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah semakin membuka angin segar kepada pemerintah daerah untuk dapat lebih mendekatkan pemerintah kepada masyarakat sehingga patologi birokrasi dapat sejauh mungkin dihindarkan.
Di era otonomi daerah, strong governance amat penting karena menjadi titik pertemuan langsung antara aparatur pemerintah dengan masyarakat, dimana pelayanan menjadi titik strategis untuk membangun kepercayaan masyarakat. Kualitas pelayanan publik juga menjadi indikator utama untuk menilai sejauh mana tugas penyelenggaraan pemerintahan di daerah sudah dilaksanakan dengan baik, mengingat urgensi keberadaan pemerintah daerah adalah untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat secara demokratis dengan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat serta dengan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaannya, meningkatkan partisipasi masyarakat serta memberdayakan potensi serta keanekaragaman daerah. Hal tersebut dianggap penting untuk mengukur kemampuan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik melalui penerapan standar pelayanan minimal (SPM) sebagai solusi untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar.
Pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah akan mempengaruhi minat para investor dalam menanamkan modalnya di suatu daerah. Dunia usaha menginginkan pelayanan yang cepat, tepat, mudah dan murah serta tarif yang jelas dan pasti. Bila tujuan desentralisasi dan otonomi daerah  adalah untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat serta untuk mensejahterakan masyarakat, maka realisasi dari desentralisasi dan otonomi daerah hendaknya bisa diwujudkan oleh pemerintah daerah secara konkret melalui kegiatan deregulasi dan debirokratisasi secara terus menerus, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat.
Atas dasar itulah, agar otonomi daerah dapat diarahkan pada optimalisasi pelayanan kepada masyarakat, perlu dilakukan pemekaran daerah pada daerah otonom. Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pemekaran daerah , ternyata yang menjadi dasar pertimbangan pembentukan daerah tersebut itu antara lain sebagai berikut:
1.     Untuk memacu perkembangan kemajuan Propinsi Jawa Barat pada umumnya dan Kabupaten/Kota pada Khususnya ;
2.     Meningkatnya kemajuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan
3.     Mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah.
Pada dasarnya pemberian pembentukan daerah otonom mempunyai dua tujuan utama meningkatkan pelayanan public guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan politik ditingkat lokal. Artinya jika kedua hal tersebut tidak tercapai berarti tujuan pembentukan daerah tidak tercapai. Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas sejak diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 sampai dengan UU No.32 Tahun 2004 senantiasa menjadi alasan adanya pembentukan Kabupaten/Kota di Indonesia termasuk juga di Jawa Barat.
Penjelasan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 tahun 2000 menyatakan bahwa pemekaran bertujuan untuk peningkatan pelayanan publik, percepatan pertumbuhan demokrasi, perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan pusat dan daerah. Semua tujuan itu begitu positif. Namun, dalam kenyataan, pemekaran cenderung  hanya mengeksploitasi kepentingan masyarakat untuk melegitimasi pembentukan daerah baru atau mengemas kepentingan pribadi atau kelompok seolah menjadi kepentingan publik.
Sampai saat ini, sesuai data Depdagri per awal Juli 2007 (dalam Tagukawi: 2007), sudah terdapat 33 provinsi dan 457 kabupaten/kota/administratif. Perinciannya, kabupaten berjumlah 364, satu kabupaten administratif, terdapat 95 kotamadya, dan 5 kotamadya administratif. Data ini belum termasuk delapan daerah baru yang disahkan dalam sidang paripurna DPR pada 17 Juli 2007.
Capaian pembentukan daerah baru dapat dilihat berdasarkan hasil evaluasi Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dari bulan Nopember 2006 sampai Maret 2007 terhadap 148 daerah otonom baru dan 101 daerah induk yang dibentuk antara tahun 1999-2004. Hasil evaluasi terhadap 148 daerah otonom baru itu menunjukkan penurunan rasio pendapatan asli daerah (PAD) dalam APBD di daerah otonom baru sebesar 5,02 persen tahun 2003 menjadi 4,73 persen tahun 2004. Artinya, ini merupakan indikasi kalau ada ketergantungan anggaran ke pemerintah pusat. Selain itu, kecenderungan hampir di semua daerah belanja publik di daerah otonom baru lebih kecil di bawah 50 persen dari pada belanja aparatur. Hasil evaluasi aspek kesejahteraan masyarakat, daerah otonom baru rata-rata memiliki 20 persen penduduk miskin. Rata-rata penduduk miskin di daerah otonom baru 17,91 persen tahun 2003 menjadi 18,01 persen tahun 2004.
Dalam rapat dengan Komisi DPR RI pada Juni 2007, Mendagri Ad Interim Widodo AS mengungkapkan pihaknya menghasilkan empat kuadran dari evaluasi terhadap 48 Daerah Otonom Baru (DOB). Kuadran pertama, daerah yang dikategorikan berhasil dan dapat mengurus sendiri urusan pemerintahannya, diindikasikan dengan tingkat kinerja yang tinggi dan perkembangannya meningkat, seperti Kota Tasikmalaya, Kota Cimahi, Kota Ternate, dan Kota Baru. Kuadran kedua, daerah yang dikategorikan belum berhasil, tetapi dapat mengurus sendiri urusan pemerintahan, diindikasikan dengan tingkat kinerja yang rendah, tetapi perkembangannya meningkat. Ada 13 daerah yang masuk kategori ini. Kuadran ketiga, daerah yang dikategorikan berhasil, tetapi belum dapat mengurus sendiri urusan pemerintahannya, yang diindikasikan tingkat kinerja rendah dan perkembangannya menurun. Namun, belum ada daerah yang masuk kategori ini. Kuadran keempat, daerah yang dikategorikan tidak berhasil dan tidak dapat mengurus sendiri urusan pemerintahan. Ini diindikasikan dengan tingkat kinerja yang rendah dan perkembangannya terus menurun, seperti Kota Banjar baru, Kota Banjar, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Rote Ndao.
Maraknya pembentukan daerah yang dilatarbelakangi masalah etnis, historis kedaerahan dan rentang kendali serta kurang memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah dan sumber daya manusianya yang dimiliki oleh daerah dikemudian hari akan menimbulkan permasalahan tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Berdasarkan realitas di atas pembentukan daerah otonom tersebut ternyata belum sepenuhnya berdampak signifikan untuk mewujudkan kesejahte­raan masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah, sehingga pemekaran daerah yang seharusnya memberikan hasil positif terhadap masyarakat setempat kini justru tenggelam dalam sejumlah permasalahan. 
Pada contoh kasus di Tapanuli Utara baik yang berada di wilayah kota maupun kabupaten keadaannya dinilai tidak menguntungkan atau belum memuaskan. Indikasi yang menunjukkan pemekaran wilayah tersebut tidak berjalan dengan baik seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa bahwa :
Jika UU No. 11/2001 diimplementasikan dengan benar, pembentukan Kota Tasikmalaya tidak akan ada permasalahan. UU tersebut tidak dipatuhi, sehingga konflik terjadi berlarut-larut. Di samping itu, permasalah juga dipicu oleh rendahnya komitmen serta ke­sia­pan daerah dalam melaksanakan otonomi tersebut, sehingga pemekaran wilayah bukannya memberikan benefit, baik itu bagi masyarakat setempat maupun bagi perekonomian di kedua wilayah, Pemkab dan Pemkot Tasikmalaya. Padahal, esensi dari pemekaran wilayah adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat .
Begitu pula dari hasil penelitian Lingkar Studi Peradaban (LSP) bahwa pelayanan publik yang diberikan Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota selama tahun 2008 dinilai kurang memuaskan dan dianggap kurang berhasil dalam menangani pengangguran serta kemiskinan (PR: 02-12-2008). Padahal, tujuan pemekaran daerah, sebagaimana ter­cantum pada Undang-Undang tersebut adalah untuk meningkatkan pelayanan publik. Akan tetapi, pertumbuhan itu belum diimbangi dengan pembangunan infrastuktur di perkotaan yang memadai. Seperti, buruknya trotoar untuk pejalan kaki, drainase yang selalu mampet, sehingga kalau turun hujan, kota menjadi banjir. Belum lagi, fasilitas umum (alun-alun, sarana olah raga) tidak terurus, lingkungan yang kotor, dan ruang publik lainnya yang terabaikan (PR, 17-10-2007). Permasalahan lainnya, yaitu masalah sosial seperti angka pengangguran sudah mencapai 47.000 lebih, dari jumlah penduduk kurang lebih 600.000 lebih. Dalam forum silaturahmi masyarakat Tasikmalaya terungkap masalah pendidikan, kesehatan dan supremasi hukum mendapat sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat. Masalah kesehatan disoroti oleh Darda dari LSM Fortas, bahwa kondisi kesehatan masyarakat Tasik harus ditangani dengan serius oleh pemerintah. Banyak masyarakat yang kurang mampu tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang selayaknya dari pemerintah. (Dialog Depkes RI  28 Juli 2004).
Keadaan tersebut berdasarkan laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota, (2006:27), ternyata:
1.     Menurut data Susenas 2004 angka kematian bayi di Kabupaten/Kota masih cukup tinggi yaitu 43,88 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan menurut Suseda 2006, angka kematian bayi mencapai 40,45 per 1000 kelahiran hidup.
2.     Laju peningkatan rata-rata lama sekolah penduduk cenderung melambat selama periode 2003-2006, hal ini mengindikasikan bahwa intervensi langsung pemerintah untuk mempertahankan anak-anak tetap sekolah belum terlihat memiliki daya ungkit yang nyata terhadap pencapaian rata-rata lama sekolah.
3.     Menurut Data Suseda Propinsi Jawa Barat tahun 2005, tingkat pengangguran terbuka relatif cukup tinggi, yaitu mencapai 14,33% lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Propinsi Jawa Barat yang mencapai 11,91%.
4.     Dari tingkat kesejahteraannya, menurut data Dinas Kependudukan Keluarga Berencana dan Tenaga Kerja tahun 2006, terjadi peningkatan jumlah Pra Sejahtera sebanyak 7440 KK (naik 2364 KK) dan kriteria Sejahtera (KS) 1 sebanyak 61.866 KK (naik 21.950 KK).

Masalah-masalah tersebut ditemukan juga dalam  LAKIP  Kabupaten/Kota (2007:v-vi), bahwa:
1.     Pemerintah kota banjar belum memiliki standar pelayanan minimum (SPM) bidang pendidikan. Anggaran pendidikan tahun 2007 baru sebesar 18,68% dari APBD, belum mencapai 20% sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional.
2.     Angka kematian bayi sebanyak 70 kasus melebihi target 65 kasus dan kematian ibu mencapai 3 kejadian.
3.     Cakupan layanan kebersihan 2.912,62 Ha dari wilayah kota, tidak dapat melayani kebersihan wilayah pedesaan seluas 8.518,38 Ha.
4.     Pencapaian cakupan jamban keluarga baru mencapai 80,88%.
5.     Cakupan air bersih baru mencapai 84,34% dari target 83% penduduk kota.
Masalah-masalah di atas menunjukan bahwa tujuan pemekaran daerah untuk lebih mensejahterakan masyarakat belum tercapai, hal tersebut sejalan dengan pernyataan Departemen Dalam Negeri bahwa dari 104 daerah (lima provinsi dan 97 kabupaten) ditambah daerah hasil pemekaran yang terjadi dari tahun 2000 sampai 2005, sekitar 76 di antaranya masih bermasalah. ”Banyaknya daerah pemekaran yang belum mampu membiayai penyelenggaraan rumah tangganya sendiri, akibatnya, masyarakat pun malah semakin jauh dari sejahtera.[2]
Keadaan itulah yang kemudian menimbulkan pandangan negatif tentang perlu atau tidaknya dilakukan pemekaran daerah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dwiyanto ( 2002: 17), bahwa “Tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan publik adalah sesuatu yang cukup beralasan dan tidak berlebihan, mengingat sampai sejauh ini masyarakat masih menilai bahwa kualitas pelayanan publik masih rendah serta kinerja pelayanan publik khususnya oleh pemerintah daerah masih sangat jauh dari yang diharapkan.”
  Membuat kemandirian (otonomi) yang harus diikuti oleh otonomi pemerintah desa dibutuhkan daya dukung. Pertama, desentralisasi dari pemerintah pusat yang membagi kekuasaan, kewenangan, keuangan , kepercayaan dan tangung jawab bukan hanya kepada kabupaten dan kota saja tapi juga menyentuh kepada desa. Ke dua, pertumbuhan desa ( nilai lokal, modal sosial, adat istiadata dan pranata lokal termasuk di dalamnya sumberdaya ekonomi desa) agar mempunyai makna bagi seluruh entitas desa.
Maka ada sejumlah prinsip yang harus dikembangkan dalam upaya mengakomodir pemekaran daerah yang melahirkan  strong government dan diikuti dengan prakarsa otonomi pemerintahan desa melalui : (1) mengembangkan multi level governance; (2) membuat self governing community; (3) capacitu building dari pemerintahan desa yang ditopang dengan : akuntabilitas, transparansi, fasilitasi berdasarkan demokrasi dan (4) menumbuhkan pemberdayaan masyarakatnya yang berdasarkan partisipasi masyarakat desa.

Daftar Pustaka :

Brouwer, R, and Nhessango, J 2006, ‘About Bridges and Bonds: community responses to the 2000 floods in Mabalane District, Mozambique’, Disasters, vol. 30, no. 2, pp. 234-55.
Freeman, KP 2004, , Spatial Research and Information, vol. 32, no. 5, pp. 427-37.
Furukawa, S 2000, ‘An institutional framework for crisis management’, Journal of Contingencies and Crisis Management, vol. 8, no. 1, pp. 3-14)
Sobandi, 2002, ‘Civil society and the state’. 120-39.
Pelling, M 1998, ‘Participation, social capital, and vulnerability to urban flooding, Journal of International Development, vol. 10, pp. 469-86.
Shaw, R & Goda, K 2004, ‘sustainable civil society experience’, vol. 28, no. 1, pp. 16-40.
Kapucu, N 2006, ‘Public-non profit partnerships for collective action in dynamic contexts of emergencies’, Public Administration, vol. 84, no. 1, pp. 205-20.
Woolcock, M and Narayan, D 2000, ‘Social capital: implications for development theory, research, and policy’, The World Bank Research Observer, vol. 15. no. 2, pp. 225-49.
Laporan Hasil Penelitian :
1. Pemekaran Daerah,  STPDN, 2003..
2. Pemekaran Daerah di Jawa Barat, Biro Dekonsentrasi Propinsi Jawa Barat, 2007.




[1] Thomas Bustomi, Dosen FISIP Unpas, Konsultan Otonomi Daerah
[2] Kausar Ali Saleh ( Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri,  (23/12/07). http://www.infopapua.com.